Tahun 2015, 2016, dan 2017 saat ini mungkin bisa dibilang
sebagai masa ujian berat untuk dunia penerbitan media cetak (buku, majalah,
koran). Tahun-tahun itu, banyak penerbit buku yang tutup. Majalah setop
menerbitkan versi cetak dan beralih ke digital. Dan perusahaan koran meng-cut banyak karyawannya, mengurangi
tiras, menambah space iklan dan mengurangi jumlah berita, mereka juga bersiap
invasi ke dunia digital, yang mana pastinya mengurangi jumlah tenaga kerja dan profit mereka. Tiga tahun kuliah jurusan Penerbitan dan Jurnalistik Cetak,
ditambah 7 tahun kerja di dunia penerbitan buku, saya pun cukup mengerti
permasalahan di dunia media cetak akhir-akhir ini. Berikut beberapa hal yang saya
alami dalam naik-turunnya kondisi bisnis media cetak, khususnya penerbitan
buku:
1. Budaya baca masyarakat Indonesia yang makin
memprihatinkan. Yang memberikan keuntungan untuk media cetak pastinya
pembelian. Nah terjadinya pembelian akibat adanya minat untuk membaca
seseorang. Bila tidak ada minat untuk membaca, pastinya tidak akan ada yang
membeli buku, majalah, atau koran! Menurut sebuah survei, minat baca masyarakat
Indonesia hanya 0,1% dari total penduduk (250 juta). Yang artinya hanya 250.000
orang yang suka membaca (minimal 1-2 buku sebulan). Hal ini gw aminkan, karena
untuk sebuah buku dikatakan best seller
atau laris, cukup terjual 5.000-10.000 eksemplar dalam 1 bulan. Sedangkan di
negara maju, buku laris harus terjual jutaan eksemplar terlebih dulu. Jauh
sekali dari Indonesia dan sangat sulit menjual di angka segitu, padahal
masyarakat Indonesia banyak sekali dan tersebar di seluruh penjuru nusantara.
2. Perkembangan teknologi yang masif. Kita tidak bisa
melawan teknologi, akhirnya media cetak pun berubah menjadi file elektronik.
Ironisnya, berdasarkan riset bahkan di negara maju, produk seperti e-book kurang diminati. Perkembangannya
bahkan melambat. Mereka lebih suka versi cetak. Bila dibandingkan dengan
Indonesia? Wah, lebih parah lagi. Buku cetak saja kurang minatnya, apalagi buku
e-book. Perkembangan gadget dan media sosial yang
menghasilkan generasi serba instan. Lebih suka membaca di Internet yang mana
isinya hanya ringkas, bahkan cenderung hanya membaca judul, dan isinya secara cepat. Dengan malasnya seseorang membaca
sebuah literasi yang banyak, pastinya produk media cetak makin ditinggalkan.
3. Kondisi ekonomi global. Memang pengaruh pasar global yang
sedang turun tahun2 lalu membuat daya beli masyarakat Indonesia menurun. Begitu
juga dengan pasar perbukuan, lebih turun lagi. Terbukti menurut data toko buku
Gramedia, walaupun pasar berkembang tapi penjualan dari tahun sebelumnya,
menurun. Menariknya, di pertengahan tahun 2016 banyak buku best seller
dengan sasaran pembaca SMP dan SMA dengan harga Rp 99.000. Wow, apa ini artinya
lemahnya kondisi ekonomi hanya berdampak pada kalangan dewasa, tapi tidak berdampak
dengan kalangan umur menengah? Gw juga
belum menemukan jawabannya hingga hari ini.
4. Kurangnya peran pemerintah di sektor industri perbukuan.
Hal ini dibuktikan dengan mahalnya bahan baku untuk mencetak, seperti kertas.
Beberapa percetakan juga masih mengimpor kertas dan tinta. Jadi kedua bahan utama ini tergantung kurs dolar. Pemerintah tidak
mensubsidi kertas untuk industri penerbitan. Beda dengan Malaysia yang
disubsidi pemerintahnya, membuat harga buku di Malaysia murah.
5. Buku Kena Pajak sebesar 10%. Pajak ini sangat memberatkan
industri penerbitan. Padahal buku adalah karya intelektual dan bermanfaat untuk
masyarakat. Buku yang tidak kena pajak adalah buku pelajaran dan buku agama.
Sebuah buku bisa dibuat tidak kena pajak. Tapi harus diurus di kantor perpajakan,
yang pastinya agak ribet dan menghabiskan waktu, itu pun untuk per 1
judul terbit saja.
6. Monopoli pasar modern. Berjayanya toko buku modern
Gramedia tidak lepas dari kesuksesan mereka mengembangkan retail toko buku ini
Indonesia. Hingga hari ini, Toko Buku Gramedia memiliki 120 lebih cabang di
seluruh Indonesia. Beberapa adalah gedung milik mereka sendiri. Dengan berhenti
operasinya beberapa retail toko buku, membuat Toko Buku Gramedia makin kuat. Mereka
pun dengan mudahnya menaikan diskon penjualan hampir 40%. Beberapa penerbit
yang sudah menggangtukan hidup mereka melalui penjualan di pasar modern,
terpaksa mengikuti setiap kebijakan mereka. Ini adalah salah satu penyebab
harga buku di Indonesia menjadi mahal. Contoh: Diskon toko buku 40%, jasa
distributor 10%, pajak 10%, royalti penulis 10% per judul buku. Alhasil
keuntungan penerbit hanya 30% saja. Sementara rumus penerbitan buku adalah
harga produksi dikali 4. Nah, silakan dihitung sendiri berapa harga yang pas
untuk sebuah buku agar saat dijual mendapat keuntungan yang pantas untuk
membiayai sebuah perusahaan penerbitan kecil. Karena itu, penjualan online menjadi salah satu cara agar
penerbit mendapat untung yang lebih besar.
7. Peran IKAPI. Walaupun bernama Ikatan Penerbit Indonesia,
sayangnya organisasi ini belum banyak membantu penerbit-penerbit yang ada di
Indonesia. Karena pengurusnya terdiri dari orang-orang penerbit juga, mereka cenderung
lebih dulu mementingkan urusan pribadi, ketimbang permasalahan anggotanya. Dan
dalam setiap acara, seminar, atau pertemuan yang diadakan, tema yang diangkat dirasa
kurang penting dan kurang menarik untuk diikuti. Sebaiknya lebih membahas
permasalahan yang ada untuk mengembangkan dan memajukan industri perbukuan
Indonesia.
8. Biaya pengiriman luar daerah yang masih mahal. Terkadang
biaya kirim buku lebih mahal dengan harga buku itu tersendiri. Berharap, dengan
masifnya pembangunan infrastruktur, dapat memotong jalur distribusi agar lebih
ringkas dan murah.
Walaupun industri perbukuan banyak yang tenggelam, tapi
banyak juga yang muncul baru loh. Karena membangun bisnis penerbitan itu mudah.
Tidak perlu mendirikan CV ataupun PT. Karena mudahnya membuat bisnis ini, banyak
kantor penerbitan yang berbentuk rumah. Dan jumlahnya banyak banget, tersebar
di pulau Jawa. Bahkan penerbit kecil ini banyak yang tidak bergabung dengan
IKAPI dan tidak menjual di toko buku modern.
Tips bertahan di indsutri penerbitan buku:
- Modal harus kuat
- Peka dengan tren pasar terbaru
- Menemukan chanel baru untuk menjual buku (selain toko)
- Cepat mengambil keputusan untuk buku laris dan slow moving
- Memanfaatkan sosial media untuk promo dan berjualan
Demikian pengalaman yang dapat saya bagi saat di dunia
penerbitan buku. Saya berharap media cetak tetap ada, bertumbuh minat baca
masyarakat, dan bisnisnya dapat bermanfaat untuk masyarakat luas.
Terima kasih,
@donzniel
Editor in Chief Penerbit CHANGE (2013-2017)
Editor Ufuk Press (2010-2013)