Tuesday, February 28, 2017

PENGALAMAN PSIKOTEST DI PT. EKA SARI LORENA (ESL EXPRESS)

Gw apply di PT. Eka Sari Lorena (ESL Express) untuk posisi Customer Service Supervisor via email recruitment@esl-express.com tanggal 9 Januari 2017. Informasi lowongan ini gw dapat di harian Koran Kompas edisi Sabtu, 7 Januari 2017. ESL Express sebagai salah satu lini perusahaan PT. Eka Sari Lorena sedang membuka banyak lowongan, dari tim bisnis, SDM, keuangan, komunikasi, hingga IT dengan tingkatan level yang berbeda (staf, spv, manajer, director).

Hampir sebulan, 7 Februari 2017, gw dapat telepon dari ESL Express Cabang Depok (021) 77801495. Mereka mengatakan bahwa hari ini akan dikirim surat informasi panggilan psikotest. Agak jadul ya menurut gw, di era modern saat ini, masih menggunakan surat. Pengalaman gw, biasanya panggilan itu menggunakan SMS atau email. Ya itung2 paperless-lah. Atau mungkin juga ini sebagai penegasan bahwa mereka adalah perusahaan shipping logistic. Surat gw dianter pake uberMOTOR. Seperti umumnya surat panggilan biasa, jangan lupa bawa cv, surat lamaran, alat tulis, dan datang 15 menit sebelum tes.

Kator pusat ESL Express di Jl. RA Kartini No. 16, Cilandak, Kalo yang biasa lewat sini, sering lihat pool bus Lorena, ya di situ kantor pusat mereka. Seperti biasa Jakarta macet, ditambah jalanan sempit akibat pengerjaan proyek MRT, membuat gw nyampe mepet banget. Rumah gw di Depok dan menghabiskan waktu tempuh lebih dari 1,5 jam! Nyampe di tempat, langsung lapor ke satpam dan naro KTP. Gw dan para pelamar lainnya disuruh nunggu di kantin yang biasa sopir bus Lorena untuk nongkrong. Karena pool bus, tempatnya luas banget, banyak parkiran bus, jalanan rusak, ada tempat service bus, dan mess untuk keluarga sopir. Kantor pusatnya hanya 1 lantai dan tidak besar. Menunggu lebih dari setengah jam, baru kami dipanggil dan dibawa ke sebuah ruangan di daerah mess sopir. Jalan dari depan ke dalam lumayan jauh. Staf HR-nya aja naik motor ke situ :D.

Psikotest dimulai. Ada 3 jenis tes yang diberikan kepada pelamar dengan metode pilihan ganda dan waktu pengerjaan 5-10 menit. Tiga tes itu: Lead by Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, CFIT, dan Tes Intelligence Umum. Waktu tes sekitar 30 menit, dan dilanjutkan untuk tes ke pelamar sesi beirkutnya. Para pelamar dipersilakan pulang dan menunggu panggilan interview dengan HRD via telepon 1-2 minggu dari sekarang. Sempet ngobrol dengan staf HR, yang mengatakan bahwa ESL Express memprioritaskan pelamar yang diterima untuk ditempatkan sesuai domisili mereka. Namun, bila Pusat membutuhkan, harus siap untuk pindah. Hingga hari ini gw lum dapat telepon dari ESL.

Pesan moralnya,
Psikotest merupakan tahapan yang kita, sebagai pelamar, tidak pernah tahu hasilnya. Salah atau benar. Jadi kita tidak punya kesempatan untuk mengkoreksinya, bila ada yang tidak sesuai dengan kepribadian yang diinginkan perusahaan pada tes-tes berikutnya. Untuk tes intelligence, perasaan gw udah isi dengan teliti dan yakin jawaban gw bener semua (pake perasaan sih). Dan untuk psikotest kepribadian, gw udah isi secara konsisten dan positif. Tapi, apa gw harus isi psikotest dengan the real kepribadian gw, walaupun ada beberapa sifat negatif didalamnya? Hmm....


=END=
»»  Selengkapnya...

Sunday, February 26, 2017

CARA KOMPLAIN KE UBER

PERHATIAN: INI BUKAN BLOG OFFICIAL UBER, INI BLOG PRIBADI PENGALAMAN SAYA MENGGUNAKAN UBER. THX.



Di Bandung, gw dari Floating Market Lembang Bandung (Jl. Grand Hotel No. 33E, Lembang, ke Chagiya Korean-Suki (Jl. Sawunggaling No.10, Tamansari, Bandung Wetan) naik Uber. 

Sempet kaget lihat receipt Uber via email dengan tarif Rp 129.000 yang jaraknya 33 km! Emang waktu order gw ga lihat fare estimate-nya. Tapi menurut gw itu mahalnya keterlaluan. Padahal pake Google Map aja, jarak dari Floating Market ke Chagiya cuman 10-an km. Sempet mikir jelek, jangan2 si driver muter2in gw di jalan waktu lagi tidur. Tapi kayaknya mustahil deh, soalnya waktu tempuhnya hanya 1 jam 10 menit. Ga mungkin lah bisa ngejar 33 km dengan lalu lintas Bandung yang padat di hari Sabtu sore. Gw sempet Googling untuk komplain ke pihak Uber. Tapi keterangan di Internet, Uber sudah tidak menggunakan email untuk komplain. Jadi harus via aplikasi.

 
Begini caranya untuk komplain ke Uber tentang perjalanan Anda. Masalah tarif atau kilometer yang berubah:

- Masuk ke aplikasi Uber,

- pilih Help,

- pilih Trip yang mana yang mau dikomplain,

- terus pilih “Report an issue with this trip”,

- pilih lagi “I had an issue with a receipt or payment option”,

- pilih “My trip receipt was updated”,

- lalu ada pilihan “Tell us more”,

- baru isi keluhan kita di kolom tersebut.

- Pake bahasa Indonesia juga ga apa2 kog.



Thanks to Uber, responsenya sangat cepat. Mereka membalas via email dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Uang saya langsung dikembalikan dalam waktu 1-3 hari kerja. Mereka mengatakan, ada kesalahan pada GPS driver, sehingga jarak tempuhnya naik berkali-kali lipat. Receipt saya pun di-update dan dikirim lagi via email. Tarif sebelumnya, Rp 128.840. Dikembalikan ke Kartu Kredit saya Rp 74.840. Total tagihan yang benar adalah Rp 54.000. Untung pake Kartu Kredit, bisa dibalikan. Gimana nasibnya kalo bayar cash yah?? XD


END
»»  Selengkapnya...

PENGALAMAN BERTEMU PAK AHOK

Bisa dikatakan bahwa paslon nomor 2, Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017 merupakan sosok yang jadwal kampanyenya tidak banyak diketahui oleh masyarakat maupun wartawan. Gw pun pernah membuktikannya. Pada pertengahan Januari 2017, saat masa kampanye, gw dapat info bahwa Pak Ahok akan kampanye di daerah Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kantor gw ga jauh dari lokasi tersebut. Gw pun langsung menuju TKP, dan di sana sudah banyak awak media yang nunggu kedatangan Pak Ahok. Jalanan rame dan agak macet. Pak Ahok akan datang ke sebuah perumahan di gang-gang kecil di sekitar Jalan Ketapang. Kebayangkan penuhnya kayak apa. Waktu itu lagi tengah hari, panas banget. Gw pun bersama para wartawan duduk2 di pinggir jalan dan depan rumah orang. Hampir sejam berlalu, Pak Ahok pun tak kunjung datang :-(. Lama menunggu, para wartawan mulai membubarkan diri karena mendapatkan instruksi langsung dari senior mereka, setelah mengkonfirmasi apakah benar Pak Ahok akan datang atau tidak. Hari itu, gw ga jadi ketemu Pak Ahok.

Keesokan harinya, gw dapat kabar bahwa Pak Ahok sudah datang ke Jati Padang dari jam 8 pagi! Sementara gw baru nyampe kantor jam 10, hehehe. Kalo pembaca pada tahu insiden yang Pak Ahok ketemu ketua PFI Pasar Minggu, nah itu deket kantor gw pas beliau kampanye. Sama seperti kemarin, gw ga jadi ketemu Pak Ahok lagi.

Tanggal 23 Januari 2017, dalam perjalanan ke kantor di Pasar Minggu, gw ambil rute Condet--Kayu Manis untuk menghindari kemacetan di TB Simatupang. Sebenernya ini rute yang jarang banget gw ambil. Gw ambil rute ini kalo dari jauh Jalan TB Simatupang udah macet, jadi gw langsung ambil kanan ke Jalan Raya Condet. Tapi hari itu sebenernya lagi ga macet. Entah kenapa, itu udah takdir, lagi bengong, atau alam bawah sadar, tanpa sadar gw langsung ambil rute Condet. Perjalanan gw tampak biasa dan lancar saja, tapi tepat di depan Jalan Jembatan, Balekembang terlihat keramaian. Dan itu ... Pak Ahok!


Gw langsung parkir motor di Alfamart dan mengikuti rombongan. Tapi Pak Ahok-nya udah keburu jauh. Dan situasi di sana udah padat banget, macet, crowded. Jalan Jembatan itu sebenernya jalanan kecil yang ada jembatan gede penghubung ke Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Cuman muat 2 motor, dan kalo ada 1 mobil aja yang lewat, pasti terjadi kemacetan. Dan di sana terjadi kemacetan, motor cuman bisa merayap. Gw balik lagi ambil motor, untuk ikuti rombongan yang lewat di Jalan Jembatan I. Pak Ahok dan tim mulai blusukan, masuk ke gang rumah warga yang ga bisa dilalui motor. Gw parkir di depan rumah orang, ngeri juga, takut ilang tuh motor. Tapi karena pengin banget ketemu beliau, gw pun ikut rombongan yang berjalan bersama pak Ahok.


Selain para wartawan dan warga setempat yang ikutin Pak Ahok, ternyata banyak juga orang biasa yang kayak gw kebetulan lewat, dan langsung ikutin beliau. Yah sekedar tatap muka, salaman, atau foto bareng. Hp udah di tangan, gw ikutin di belakang Pak Ahok sambil cari celah untuk minta foto. Sempet ada perasaan takut dan gugup di deket Pak Ahok. Menurut gw, aura ketegasannya kuat banget, sehingga dari jauh aja gw udah jiper duluan, hehehe. 


Pertama, gw udah berhasil salaman sama beliau. Kedua, cari momen yang pas untuk foto bareng. Karena harus rembutan sama warga atau orang yang kebetulan lewat yang juga minta foto atau sekadar ‘ngobrol’ dengan Pak Ahok. Puji Tuhan, akhirnya gw dapat momen itu. Karena Hp ga bisa selfie, akhirnya minta tolong sama orang. Makasih buat mas2 tanpa nama yang udah baik hati fotoin saya, hasilnya bagus, dan fokus ke saya dan Pak Ahok. Engga banyak orang yang masuk frame :-)


Selesai foto bareng, gw langsung balik ke kantor. Untungnya, motor masih aman di depan rumah orang, hehehe. Dan ternyata, ada oknum yang mem-video-kan pertemuan gw dengan Pak Ahok, di-upload ke YouTube, dan diberi judul “Boy Anak Jalanan Bertemu Ahok” --__--. 


END
»»  Selengkapnya...

Thursday, February 9, 2017

TAHUN YANG BERAT UNTUK DUNIA PENERBITAN (MEDIA CETAK)

Tahun 2015, 2016, dan 2017 saat ini mungkin bisa dibilang sebagai masa ujian berat untuk dunia penerbitan media cetak (buku, majalah, koran). Tahun-tahun itu, banyak penerbit buku yang tutup. Majalah setop menerbitkan versi cetak dan beralih ke digital. Dan perusahaan koran meng-cut banyak karyawannya, mengurangi tiras, menambah space iklan dan mengurangi jumlah berita, mereka juga bersiap invasi ke dunia digital, yang mana pastinya mengurangi jumlah tenaga kerja dan profit mereka. Tiga tahun kuliah jurusan Penerbitan dan Jurnalistik Cetak, ditambah 7 tahun kerja di dunia penerbitan buku, saya pun cukup mengerti permasalahan di dunia media cetak akhir-akhir ini. Berikut beberapa hal yang saya alami dalam naik-turunnya kondisi bisnis media cetak, khususnya penerbitan buku:

1. Budaya baca masyarakat Indonesia yang makin memprihatinkan. Yang memberikan keuntungan untuk media cetak pastinya pembelian. Nah terjadinya pembelian akibat adanya minat untuk membaca seseorang. Bila tidak ada minat untuk membaca, pastinya tidak akan ada yang membeli buku, majalah, atau koran! Menurut sebuah survei, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,1% dari total penduduk (250 juta). Yang artinya hanya 250.000 orang yang suka membaca (minimal 1-2 buku sebulan). Hal ini gw aminkan, karena untuk sebuah buku dikatakan best seller atau laris, cukup terjual 5.000-10.000 eksemplar dalam 1 bulan. Sedangkan di negara maju, buku laris harus terjual jutaan eksemplar terlebih dulu. Jauh sekali dari Indonesia dan sangat sulit menjual di angka segitu, padahal masyarakat Indonesia banyak sekali dan tersebar di seluruh penjuru nusantara.

2. Perkembangan teknologi yang masif. Kita tidak bisa melawan teknologi, akhirnya media cetak pun berubah menjadi file elektronik. Ironisnya, berdasarkan riset bahkan di negara maju, produk seperti e-book kurang diminati. Perkembangannya bahkan melambat. Mereka lebih suka versi cetak. Bila dibandingkan dengan Indonesia? Wah, lebih parah lagi. Buku cetak saja kurang minatnya, apalagi buku e-book. Perkembangan gadget dan media sosial yang menghasilkan generasi serba instan. Lebih suka membaca di Internet yang mana isinya hanya ringkas, bahkan cenderung hanya membaca judul, dan isinya secara cepat. Dengan malasnya seseorang membaca sebuah literasi yang banyak, pastinya produk media cetak makin ditinggalkan.

3. Kondisi ekonomi global. Memang pengaruh pasar global yang sedang turun tahun2 lalu membuat daya beli masyarakat Indonesia menurun. Begitu juga dengan pasar perbukuan, lebih turun lagi. Terbukti menurut data toko buku Gramedia, walaupun pasar berkembang tapi penjualan dari tahun sebelumnya, menurun. Menariknya, di pertengahan tahun 2016 banyak buku best seller dengan sasaran pembaca SMP dan SMA dengan harga Rp 99.000. Wow, apa ini artinya lemahnya kondisi ekonomi hanya berdampak pada kalangan dewasa, tapi tidak berdampak dengan kalangan umur menengah? Gw juga belum menemukan jawabannya hingga hari ini.

4. Kurangnya peran pemerintah di sektor industri perbukuan. Hal ini dibuktikan dengan mahalnya bahan baku untuk mencetak, seperti kertas. Beberapa percetakan juga masih mengimpor kertas dan tinta. Jadi kedua bahan utama ini tergantung kurs dolar. Pemerintah tidak mensubsidi kertas untuk industri penerbitan. Beda dengan Malaysia yang disubsidi pemerintahnya, membuat harga buku di Malaysia murah.

5. Buku Kena Pajak sebesar 10%. Pajak ini sangat memberatkan industri penerbitan. Padahal buku adalah karya intelektual dan bermanfaat untuk masyarakat. Buku yang tidak kena pajak adalah buku pelajaran dan buku agama. Sebuah buku bisa dibuat tidak kena pajak. Tapi harus diurus di kantor perpajakan, yang pastinya agak ribet dan menghabiskan waktu, itu pun untuk per 1 judul terbit saja.

6. Monopoli pasar modern. Berjayanya toko buku modern Gramedia tidak lepas dari kesuksesan mereka mengembangkan retail toko buku ini Indonesia. Hingga hari ini, Toko Buku Gramedia memiliki 120 lebih cabang di seluruh Indonesia. Beberapa adalah gedung milik mereka sendiri. Dengan berhenti operasinya beberapa retail toko buku, membuat Toko Buku Gramedia makin kuat. Mereka pun dengan mudahnya menaikan diskon penjualan hampir 40%. Beberapa penerbit yang sudah menggangtukan hidup mereka melalui penjualan di pasar modern, terpaksa mengikuti setiap kebijakan mereka. Ini adalah salah satu penyebab harga buku di Indonesia menjadi mahal. Contoh: Diskon toko buku 40%, jasa distributor 10%, pajak 10%, royalti penulis 10% per judul buku. Alhasil keuntungan penerbit hanya 30% saja. Sementara rumus penerbitan buku adalah harga produksi dikali 4. Nah, silakan dihitung sendiri berapa harga yang pas untuk sebuah buku agar saat dijual mendapat keuntungan yang pantas untuk membiayai sebuah perusahaan penerbitan kecil. Karena itu, penjualan online menjadi salah satu cara agar penerbit mendapat untung yang lebih besar.

7. Peran IKAPI. Walaupun bernama Ikatan Penerbit Indonesia, sayangnya organisasi ini belum banyak membantu penerbit-penerbit yang ada di Indonesia. Karena pengurusnya terdiri dari orang-orang penerbit juga, mereka cenderung lebih dulu mementingkan urusan pribadi, ketimbang permasalahan anggotanya. Dan dalam setiap acara, seminar, atau pertemuan yang diadakan, tema yang diangkat dirasa kurang penting dan kurang menarik untuk diikuti. Sebaiknya lebih membahas permasalahan yang ada untuk mengembangkan dan memajukan industri perbukuan Indonesia.

8. Biaya pengiriman luar daerah yang masih mahal. Terkadang biaya kirim buku lebih mahal dengan harga buku itu tersendiri. Berharap, dengan masifnya pembangunan infrastruktur, dapat memotong jalur distribusi agar lebih ringkas dan murah.

Walaupun industri perbukuan banyak yang tenggelam, tapi banyak juga yang muncul baru loh. Karena membangun bisnis penerbitan itu mudah. Tidak perlu mendirikan CV ataupun PT. Karena mudahnya membuat bisnis ini, banyak kantor penerbitan yang berbentuk rumah. Dan jumlahnya banyak banget, tersebar di pulau Jawa. Bahkan penerbit kecil ini banyak yang tidak bergabung dengan IKAPI dan tidak menjual di toko buku modern.

Tips bertahan di indsutri penerbitan buku:
- Modal harus kuat
- Peka dengan tren pasar terbaru
- Menemukan chanel baru untuk menjual buku (selain toko)
- Cepat mengambil keputusan untuk buku laris dan slow moving
- Memanfaatkan sosial media untuk promo dan berjualan

Demikian pengalaman yang dapat saya bagi saat di dunia penerbitan buku. Saya berharap media cetak tetap ada, bertumbuh minat baca masyarakat, dan bisnisnya dapat bermanfaat untuk masyarakat luas.

Terima kasih,
@donzniel
Editor in Chief Penerbit CHANGE (2013-2017)
Editor Ufuk Press (2010-2013)

»»  Selengkapnya...