Thursday, February 9, 2017

TAHUN YANG BERAT UNTUK DUNIA PENERBITAN (MEDIA CETAK)

Tahun 2015, 2016, dan 2017 saat ini mungkin bisa dibilang sebagai masa ujian berat untuk dunia penerbitan media cetak (buku, majalah, koran). Tahun-tahun itu, banyak penerbit buku yang tutup. Majalah setop menerbitkan versi cetak dan beralih ke digital. Dan perusahaan koran meng-cut banyak karyawannya, mengurangi tiras, menambah space iklan dan mengurangi jumlah berita, mereka juga bersiap invasi ke dunia digital, yang mana pastinya mengurangi jumlah tenaga kerja dan profit mereka. Tiga tahun kuliah jurusan Penerbitan dan Jurnalistik Cetak, ditambah 7 tahun kerja di dunia penerbitan buku, saya pun cukup mengerti permasalahan di dunia media cetak akhir-akhir ini. Berikut beberapa hal yang saya alami dalam naik-turunnya kondisi bisnis media cetak, khususnya penerbitan buku:

1. Budaya baca masyarakat Indonesia yang makin memprihatinkan. Yang memberikan keuntungan untuk media cetak pastinya pembelian. Nah terjadinya pembelian akibat adanya minat untuk membaca seseorang. Bila tidak ada minat untuk membaca, pastinya tidak akan ada yang membeli buku, majalah, atau koran! Menurut sebuah survei, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,1% dari total penduduk (250 juta). Yang artinya hanya 250.000 orang yang suka membaca (minimal 1-2 buku sebulan). Hal ini gw aminkan, karena untuk sebuah buku dikatakan best seller atau laris, cukup terjual 5.000-10.000 eksemplar dalam 1 bulan. Sedangkan di negara maju, buku laris harus terjual jutaan eksemplar terlebih dulu. Jauh sekali dari Indonesia dan sangat sulit menjual di angka segitu, padahal masyarakat Indonesia banyak sekali dan tersebar di seluruh penjuru nusantara.

2. Perkembangan teknologi yang masif. Kita tidak bisa melawan teknologi, akhirnya media cetak pun berubah menjadi file elektronik. Ironisnya, berdasarkan riset bahkan di negara maju, produk seperti e-book kurang diminati. Perkembangannya bahkan melambat. Mereka lebih suka versi cetak. Bila dibandingkan dengan Indonesia? Wah, lebih parah lagi. Buku cetak saja kurang minatnya, apalagi buku e-book. Perkembangan gadget dan media sosial yang menghasilkan generasi serba instan. Lebih suka membaca di Internet yang mana isinya hanya ringkas, bahkan cenderung hanya membaca judul, dan isinya secara cepat. Dengan malasnya seseorang membaca sebuah literasi yang banyak, pastinya produk media cetak makin ditinggalkan.

3. Kondisi ekonomi global. Memang pengaruh pasar global yang sedang turun tahun2 lalu membuat daya beli masyarakat Indonesia menurun. Begitu juga dengan pasar perbukuan, lebih turun lagi. Terbukti menurut data toko buku Gramedia, walaupun pasar berkembang tapi penjualan dari tahun sebelumnya, menurun. Menariknya, di pertengahan tahun 2016 banyak buku best seller dengan sasaran pembaca SMP dan SMA dengan harga Rp 99.000. Wow, apa ini artinya lemahnya kondisi ekonomi hanya berdampak pada kalangan dewasa, tapi tidak berdampak dengan kalangan umur menengah? Gw juga belum menemukan jawabannya hingga hari ini.

4. Kurangnya peran pemerintah di sektor industri perbukuan. Hal ini dibuktikan dengan mahalnya bahan baku untuk mencetak, seperti kertas. Beberapa percetakan juga masih mengimpor kertas dan tinta. Jadi kedua bahan utama ini tergantung kurs dolar. Pemerintah tidak mensubsidi kertas untuk industri penerbitan. Beda dengan Malaysia yang disubsidi pemerintahnya, membuat harga buku di Malaysia murah.

5. Buku Kena Pajak sebesar 10%. Pajak ini sangat memberatkan industri penerbitan. Padahal buku adalah karya intelektual dan bermanfaat untuk masyarakat. Buku yang tidak kena pajak adalah buku pelajaran dan buku agama. Sebuah buku bisa dibuat tidak kena pajak. Tapi harus diurus di kantor perpajakan, yang pastinya agak ribet dan menghabiskan waktu, itu pun untuk per 1 judul terbit saja.

6. Monopoli pasar modern. Berjayanya toko buku modern Gramedia tidak lepas dari kesuksesan mereka mengembangkan retail toko buku ini Indonesia. Hingga hari ini, Toko Buku Gramedia memiliki 120 lebih cabang di seluruh Indonesia. Beberapa adalah gedung milik mereka sendiri. Dengan berhenti operasinya beberapa retail toko buku, membuat Toko Buku Gramedia makin kuat. Mereka pun dengan mudahnya menaikan diskon penjualan hampir 40%. Beberapa penerbit yang sudah menggangtukan hidup mereka melalui penjualan di pasar modern, terpaksa mengikuti setiap kebijakan mereka. Ini adalah salah satu penyebab harga buku di Indonesia menjadi mahal. Contoh: Diskon toko buku 40%, jasa distributor 10%, pajak 10%, royalti penulis 10% per judul buku. Alhasil keuntungan penerbit hanya 30% saja. Sementara rumus penerbitan buku adalah harga produksi dikali 4. Nah, silakan dihitung sendiri berapa harga yang pas untuk sebuah buku agar saat dijual mendapat keuntungan yang pantas untuk membiayai sebuah perusahaan penerbitan kecil. Karena itu, penjualan online menjadi salah satu cara agar penerbit mendapat untung yang lebih besar.

7. Peran IKAPI. Walaupun bernama Ikatan Penerbit Indonesia, sayangnya organisasi ini belum banyak membantu penerbit-penerbit yang ada di Indonesia. Karena pengurusnya terdiri dari orang-orang penerbit juga, mereka cenderung lebih dulu mementingkan urusan pribadi, ketimbang permasalahan anggotanya. Dan dalam setiap acara, seminar, atau pertemuan yang diadakan, tema yang diangkat dirasa kurang penting dan kurang menarik untuk diikuti. Sebaiknya lebih membahas permasalahan yang ada untuk mengembangkan dan memajukan industri perbukuan Indonesia.

8. Biaya pengiriman luar daerah yang masih mahal. Terkadang biaya kirim buku lebih mahal dengan harga buku itu tersendiri. Berharap, dengan masifnya pembangunan infrastruktur, dapat memotong jalur distribusi agar lebih ringkas dan murah.

Walaupun industri perbukuan banyak yang tenggelam, tapi banyak juga yang muncul baru loh. Karena membangun bisnis penerbitan itu mudah. Tidak perlu mendirikan CV ataupun PT. Karena mudahnya membuat bisnis ini, banyak kantor penerbitan yang berbentuk rumah. Dan jumlahnya banyak banget, tersebar di pulau Jawa. Bahkan penerbit kecil ini banyak yang tidak bergabung dengan IKAPI dan tidak menjual di toko buku modern.

Tips bertahan di indsutri penerbitan buku:
- Modal harus kuat
- Peka dengan tren pasar terbaru
- Menemukan chanel baru untuk menjual buku (selain toko)
- Cepat mengambil keputusan untuk buku laris dan slow moving
- Memanfaatkan sosial media untuk promo dan berjualan

Demikian pengalaman yang dapat saya bagi saat di dunia penerbitan buku. Saya berharap media cetak tetap ada, bertumbuh minat baca masyarakat, dan bisnisnya dapat bermanfaat untuk masyarakat luas.

Terima kasih,
@donzniel
Editor in Chief Penerbit CHANGE (2013-2017)
Editor Ufuk Press (2010-2013)

No comments:

Post a Comment

Silakan Tinggalkan Jejak Anda Di sini... Terima kasih =)