sumber: unikgaul.com |
Cukup bebas asapnya saja kog. Bukan rokoknya. Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes, Tjadra Yoga Aditama yang saya kutip dari Sindonews.com, 31 Mei 2013, saat ini Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia. Yaitu sekitar 61,4 juta perokok aktif, setelah China dan India. Sekitar 60% pria dan 4,5% wanita di Indonesia adalah perokok. Tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia berbanding lurus dengan jumlah non-smoker yang terpapar asap rokok orang lain (second hand smoke)—perokok pasif.
Rokoknya saja sudah mengandung lebih dari 4.000 zat yang berbahaya bagi kesehatan, dimana 43 zat diantaranya bersifat karsinogenik (sifat mengendap dan merusak organ paru-paru dikarenakan zat-zat yang terdapat pada rokok). Apa lagi asapnya yang juga berbahaya bagi orang disekitarnya. Asap rokok mengandung tiga kali lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan pengiritasi mata dan pernapasan. Semakin pendek rokok semakin tinggi kadar racun yang siap melayang ke udara. Suatu tempat yang dipenuhi polusi asap rokok adalah tempat yang lebih berbahaya daripada polusi di jalanan raya yang macet!
Walaupun pemerintah sudah memberikan larangan merokok di tempat umum, yang tercantum dalam Pergub Nomor 75 Tahun 2005, tapi sepertinya masyarakat masih enggan dan terkesan tidak peduli dengan perda larangan merokok tersebut. Kurang tegasnya penegakan hukum dan lemahnya kesadaran perokok aktif terhadap sekitarnya, membuat munculnya perokok-perokok pasif yang tidak berdosa, yang menanggung akibat dari rokok itu. Padahal, Sehat Milik Semua!
Ironisnya, 70% perokok aktif adalah keluarga miskin, berdasarkan riset Universitas Airlangga Surabaya (sumber Republika.com, 31 Mei 2013). Harga rokok yang mahal membuat dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. Padahal rokok kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asing, sehingga uang yang dibelanjakan perokok sebagaian akan lari ke luar negeri yang mengurangi devisa negara.
Salah satu cara untuk mengurangi perokok pasif adalah meningkatkan kepedulian masyarakat (perokok aktif) untuk lebih peka terhadap kesehatan orang-orang yang tidak merokok. Untuk perokok aktif, terutama golongan miskin dapat mengikuti program kesehatan dengan melibatkan instansi pemerintah, swasta ataupun LSM seperti penyuluhan kesehatan atas bahaya merokok, rokok herbal, rokok listrik, dan memperketat hukum Pergub Nomor 75 Tahun 2005.
Dompet Dhuafa yang memiliki gerai-gerai Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kaum dhuafa dapat juga berpartisipasi menyebarluaskan luaskan informasi tentang bahaya asap rokok ke kaum dhuafa maupun melalui media sosial dan blog. Bisa juga membantu memberikan terapi berhenti merokok untuk perokok aktif di lingkungan terdekat ke LKC sebagai salah satu layanan kesehatan dari Dompet Dhuafa.
Setelah jumlah perokok dikurangi, saatnya mengurangi jumlah produsennya, yaitu pabrik rokok. Pabrik rokok adalah salah satu industri yang mempekerjakan banyak orang di Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa menutup pabrik rokok, maka akan meningkatkan jumlah pengangguran. Apalagi pabrik rokok di Indonesia, dilindungi oleh pemerintah (Tempo.com, 31 Oktober 2013). Sebaiknya pemerintah meninjau kembali, bahwa plus minus pabrik rokok tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkannya. Rokok adalah pembunuh nomor satu di dunia. Penyebab banyak penyakit kronis dan turunnya produktivitas. Bila kita bandingkan kebijakan pemerintah yang secara keras dan tegas dengan BNN yang melawan Narkotika dan turunannya, maka sebaiknya nikotin juga dikategorikan sebagai zat-zat yang berbahaya untuk generasi masa depan. Sehingga zatnya sama dan tegas di mata hukum.
Pemerintah juga dapat menggandeng orang-orang kreatif untuk menampilkan iklan yang ‘menyentil’ perokok, seperti video di bawah ini. Video-video seperti ini seharusnya dapat ditampilkan di TV publik maupun Swasta sebagai iklan layanan masyarakat. Jangan hanya menampilkan iklan-iklan layanan masyarakat yang berunsur penceritaan lembaga pemerintahan saja.
Sehat Milik Semua, karena itu, marilah kita membangun paradigma sehat yang memandang masalah kesehatan sebagai suatu variable kontinyu, direncanakan dalam suatu sistem desentralisasi, dengan kegiatan pelayanan yang senantiasa bersifat promotif untuk mengentaskan kesehatan masyarakat, oleh tenaga kesehatan profesional bersama masyarakat yang partisipatif. Semua orang, tanpa terkecuali, harus mengarahkan upaya bagaimana membina bangsa yang sehat dan bukan bagaimana menyembuhkan mereka yang sakit.
Tulisan ini saya sertakan dalam Kontes Blog:
"Sehat Milik Semua"
Tulisan ini saya sertakan dalam Kontes Blog:
"Sehat Milik Semua"
No comments:
Post a Comment
Silakan Tinggalkan Jejak Anda Di sini... Terima kasih =)